Warning !!
Cerita ini luar biasa panjang, dibutuhkan orang-orang hebat yang bisa membacanya sampai habis !!!
Jadi bagi yang tidak kuat hentikan sampai di sini !! atau anda akan penasaran… oh, satu lagi semoga otak anda tidak teracak2 ketika membaca artikel ini, soalnya dibutuhkan kecerdasan yang tinggi untuk memahaminya…
Dari .. miss lebay *(kiki)*
Kisah nyata si Upay
Cinta Segi Lima
Anak-anak, memang selalu identik
dengan doktrin yang kuat apalagi dari mulut yang paling dekat dengan
telinganya. Heheh… jangan salah, ini filosofi pribadi dari penulis. Yahh.. itu
sih menurutku, tapi sudah terbukti kok, karena penulis sendiri yang pernah
mengalaminya dari waktu ke waktu sampai kemudian sadar dengan kedewasaan yang
tumbuh sedikit demi sedikit. Aduuhh.. kita santai saja, nggak usah terlalu
serius. Jadi begini kisahnya, suatu hari, ketika saya menginjak usia ke-7 tahun
saat itu saya duduk di bangku SD kelas 3. Waktu itu, ada suatu lomba pidato
yang diselenggarakan untuk merayakan hari kemerdekaan RI. Ibu guru memilih saya
untuk mewakili sekolah saya. Sejak itu juga, saya mulai berlatih dengan naskah
yang tergolong panjang bagi anak usia tujuh tahun. Meskipun demikian, motivasi
yang ditransferkan oleh orang tua dan guru, membuat semangat saya berkobar
untuk memberikan yang terbaik.
Setiap hari saya berlatih hingga
mendekati kesempurnaan dan setiap berlatih, saya diminta agar merasa
seolah-olah sedang berada di panggung,pokoknya harus perfect bahkan sampai ke hal-hal yang bersifat detil,itulah nasihat
ibu saya. Terlebih lagi, kemana-mana
saya harus tenteng garam dan sesering mungkin menjilatnya mentah-mentah.
Soalnya, saya punya penyakit suara, dan waktu itu garam dipercaya bisa
memulihkan saya dari penyakit itu. Ihhh… kalau diingat-ingat agak konyol
siihh.. tapi itu terbukti manjur lohh, dan memang sudah terbukti secara ilmiah.
Heheheh… berbicara tentang ilmiah sedikit nggak apa2 kaaan, supaya lebih keren.
Oke kembali ke ceritanya,jadi dulu bisa dikatakan kalau saya agak ditekan untuk
menghapal pidato ini, dan membawakannya dengan sangat baik. Sampai-sampai saya
merasa kepala saya hampir pecah karenanya. Hingga suatu ketika di hari latihan,
saya kabur dan memilih untuk bermain bersama teman-teman. huuhuyyy… asyiknya,
tiba-tiba muncul sesosok manusia dengan wajah sangarnya menyapaku dengan suara
gunturnya. Ayooooo kira-kira siapa???
Yaaaa betul sekali, dia adalah seorang manusia yang biasa dijuluki mama
atau ibu atau bunda atau ummi atau apalah namanya. Masih sangat segar di
ingatan ini, ketika waktu itu saya diseret pulang. Uuulalaaa’ sakitnya tuch di
sini. sampai di rumah, saya tidak
langsung berlatih tapi sebelumnya saya diberi hadiah yang sangat istimewa.
Yach, cubitan special dari mama tersayang, jadi jangan heran kalau waktu kecil
kulit saya bermotif karena bekas cubitan wowww.
Hari demi hari berlalu, waktu
harus memaksa saya untuk tampil di panggung yang sebenarnya (bukan panggung
khayalan saat berlatih). Awalnya, saya merasa tenang dalam menyampaikan pidato
saya. Namun, beberapa selang waktu gelak tawa dari penonton terdengar riuh.
Bukannya malu, hal itu justru membuat saya semakin percaya diri dan merasa
berhasil membuat mereka terpukau. Saya pun ikut tertawa bersama mereka. Tak
lama kemudian, pidato saya berakhir, dengan nada suara yang keras, saya
bersorak sambil turun dari panggung. Saya langsung bercerita kepada teman saya
mengenai kebanggaan saya yang telah berhasil membuat mereka terpukau. Namun,
ketika saya bercerita, teman saya malah menertawai saya dan berkata, “Mereka
tertawa bukan karena pidatomu yang memukau, tapi karena kamu terlihat bodoh di
panggung dengan menggunakan tanganmu sendiri sebagai mikrofon”. Awalnya, saya
heran, bingung bercampur pusing karena tidak mengerti dengan apa yang dimaksud
teman saya. Tapi setelah saya berpikir sejenak dan menggunakan logika mungil
saya, saya pun tersadar, ternyata sejak tadi saya tidak menggunakan mikrofon
sebagai pengeras suara,tetapi hanya mengepalkan tangan saya tanpa memegang
apapun. Dan akhirnya, hal itulah yang membuat saya terlihat bodoh dan
mengundang gelak tawa para audience. Aduuuchhh..
malunya diri ini. Naaaah, itulah yang saya maksud tadi bahwa anak-anak selalu
identik dengan doktrin yang kuat apalagi dari mulut yang paling dekat dengan
telinganya. Mulut yang kumaksud itu adalah mulut mama saya yang setiap harinya
meminta saya untuk berlatih secara sempurna sampai ke hal-hal yang detil.
Seperti, membayangkan kalau sedang tampil di panggung, membiasakan diri untuk
menggunakan mikrofon dll. Tapi saya
bersyukur telah mengalami
kejadian tersebut, karena dengannya saya belajar bahwa persiapan yang
sempurna sekalipun bukanlah penentu kesuksesan, tetapi juga dibutuhkan
kehati-hatian dan kespontanan dalam menyikapi hidup.
okay, demikianlah cerita singkat mengenai pengalaman hidup saya. Eiiitsszzz.. tapi itu hanyalah setitik dari sekian banyak cerita-cerita yang saya alami. penasaran????? Ayooo ikuti kisah selanjutnya dengan cara follow blog ini
okay, demikianlah cerita singkat mengenai pengalaman hidup saya. Eiiitsszzz.. tapi itu hanyalah setitik dari sekian banyak cerita-cerita yang saya alami. penasaran????? Ayooo ikuti kisah selanjutnya dengan cara follow blog ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar